B A P T I S A N K U D U S
Disusun oleh: Pdt. Roby
Setiawan, Th.D.[1]
Baptisan kudus adalah salah satu
sakramen di gereja Protestan. Kata ‘sakramen’ berasal dari adat istiadat
Romawi, yakni sacramentum, yang
berarti: sumpah kesetiaan prajurit yang diucapkan di hadapan panji-panji
kaisar; dan uang tanggungan yang harus diletakkan di kuil oleh dua golongan
yang sedang berperkara.[2]
Gereja Roma Katolik menentukan 7 macam sakramen.
Bagi mereka, angka 7 adalah gabungan antara angka 3 (angka Ilahi) dan 4 (angka
manusiawi). Ketujuh sakramen tsb disejajarkan dengan 7 tahapan jalan hidup
manusia menurut kodratnya. Jadi, ketujuh sakramen tsb memberkati hidup kodrati
manusia dari awal sampai akhirnya. Ketujuh sakramen tsb adalah: baptisan (dikaitkan dengan kelahiran manusia),
penguatan iman (dikaitkan dengan
pertumbuhan tubuh dari kanak-kanak ke puber), ekaristi/perjamuan kudus (dikaitkan dengan gizi), pengakuan dosa dan peminyakan (dikaitkan dengan penyembuhan), penahbisan imam/imamat, dan perkawinan
(dikaitkan dengan penyempurnaan bagi persekutuan).[3]
Namun, Gereja Protestan menganggap
hanya ada 2 sakramen, yakni: baptisan dan perjamuan kudus. Perbedaan jumlah ini
dikarenakan pengertian tentang hakekat sakramen. Gereja Roma Katolik menganggap
sakramen adalah alat untuk mencurahkan
karunia adikodrati kepada kehidupan seseorang; sedangkan menurut Gereja
Protestan, sakramen dipandang sebagai tanda
dan meterai yang ditetapkan Tuhan untuk mensahkan janji-janjiNya di dalam Injil,
yakni janji tentang pengampunan dosa dan hidup yang kekal.[4]
Suatu ‘tanda’ tidaklah memiliki arti
pada dirinya sendiri, tetapi menunjuk pada sesuatu makna yang lain, di luar dirinya
sendiri. Suatu tanda yang kelihatan dipakai Allah untuk membuat manusia lebih
memahami janjiNya. Misalnya: pelangi adalah tanda perjanjian Allah kepada Nuh,
bahwa Ia tidak akan lagi menghukum manusia di bumi dengan air bah (Kej.
9:11-13). Sunat adalah tanda perjanjian Allah dengan Abraham beserta
keturunannya (Kej. 17:9-11). Mujizat yang dilakukan oleh Tuhan Yesus juga disebut
sebagai tanda yang menyatakan kemuliaanNya (Yoh. 2:11,23; 3:2). Sakramen adalah
suatu tanda untuk menyatakan makna rohani yang penting, yakni pengorbanan Yesus
yang berkhasiat untuk mengampuni dosa dan memberi hidup yang kekal kepada
umatNya.
Selain itu, sakramen juga merupakan
meterai yang dipakai untuk mene-guhkan dan mengesahkan janji-janji Allah. Misalnya:
sunat, dalam PL, adalah meterai kebenaran berdasarkan iman Abraham (Roma 4:11).
Di dalam PB, sunat telah diganti dengan baptisan (Kol. 2:11-12). Demikian pula
dengan perjamuan
kudus yang menunjuk pada tubuh dan
darah Kristus yang memeteraikan perjanjian baru antara Allah dengan umatNya (1
Kor. 11:25).
Sakramen itu sendiri tidaklah
mengandung daya yang dapat menguatkan iman. Sakramen bukanlah ‘obat kuat’. Yang
dapat menguatkan iman adalah Roh Kudus. Dialah yang menguatkan iman umatNya
melalui perantaraan sakramen. Oleh karena itu, sakramen tidak dapat dipisahkan
dari kuasa Roh Kudus. Hal ini perlu untuk dipahami untuk menghindari pemahaman magis dari sebagian orang tentang
sakramen.
Mari kita pelajari lebih lanjut tentang
baptisan kudus. Setelah kebangkitanNya, Kristus memerintahkan murid-muridNya
untuk menjadikan semua bangsa muridNya dan membaptis mereka dalam nama Bapa dan
Anak dan Roh Kudus (Mat. 28:19). Ada beberapa hal kontroversial yang berkaitan
dengan baptisan air. Berikut ini
dipaparkan tentang masalah dan penjelasannya.
1.
Mengapa harus pakai air?
Gereja “Bala Keselamatan” tidaklah
mempraktekkan baptisan air.[5] Para orang tua “menahbiskan”
anak-anak mereka kepada Tuhan di bawah bendera Bala Keselamatan dalam suatu
kebaktian. Bagi mereka yang terpenting adalah baptisan Roh yang terjadi pada
saat seseorang ‘dilahirkan kembali’ dan diilhami oleh kasih Allah, dan bukan
baptisan air.
Tentunya penggunaan bendera tidaklah
terdapat di dalam Alkitab. Penahbisan dengan cara itu adalah ciri khas “Bala
Keselamatan” yang bercorak militeristik dengan pangkat-pangkat yang
menyertainya.
Air dipakai di dalam baptisan karena air berfungsi untuk
membersihkan kotoran dari tubuh manusia. Jadi, air melambangkan kasih Yesus
yang mampu membersihkan manusia dari dosa. Air juga memberi kemungkinan untuk
semua mahluk dapat hidup. Yesus datang untuk memberikan hidup kekal kepada
setiap orang yang percaya kepadaNya (Yoh. 5:24).
2.
Apakah baptisan menyelamatkan?
Pada satu
pihak, baptisan merupakan perintah langsung dari Tuhan Yesus. Ia berkata, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan, tetapi siapa yang
tidak percaya akan dihukum” (Mrk. 16:16). Dari ayat ini jelas dinyatakan,
bahwa iman mendahului baptisan. Namun, dikatakan “siapa yang tidak percaya akan dihukum”, dan tidak dikatakan
“siapa yang tidak dibaptis”.
Memang
baptisan penting. Tetapi, ada juga pengecualian, yakni penjahat yang disalibkan
di sebelah Yesus. Dia bertobat tetapi tidak sempat dibaptiskan (cat.: karena
sudah berada di salib). Namun Yesus berkata kepadanya, “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya hari ini juga engkau akan ada
bersama-sama dengan Aku di dalam Firdaus” (Luk. 23:43). Tentunya,
pengecualian ini tidak bisa dijadikan sebagai standard untuk mengijinkan orang
lain berbuat sedemikian. Keselamatan bagi penjahat itu sungguh-sungguh anugerah
Tuhan di ambang kematiannya.
Namun, ada juga gereja tertentu yang
menganggap bahwa baptisan itu menyelamatkan. Bagi Gereja Roma Katolik, yang
dipengaruhi oleh filsafat Realisme
Aristoteles[6],
sakramen berisikan anugerah yang ia tandai. Jadi, anugerah Allah berada di dalam
sakramen itu juga. Sehingga setiap orang yang menerimanya, mendapatkan manfaat
keselamatan yang diberikannya (cat.: istilah Latinnya adalah ex opere operato). Pemahaman seperti itu bisa berdampak
kepercayaan mistis. Orang dapat memberhalakan air baptisan karena dianggap
mempunyai kekuatan magis.
Kepercayaan seperti itu, disadari atau
tidak, telah mempengaruhi keyakinan gereja-gereja tertentu yang nota-bene
bukanlah gereja Roma Katolik. Misalnya, sebelum upacara baptisan, sang Pendeta terlebih
dahulu mendoakan serta memberkati air baptisan di dalam kolam supaya berkhasiat
tertentu, misalnya: kesembuhan dari berbagai penyakit dan kelepasan dari roh
jahat.
Sebenarnya baptisan
tidaklah menyelamatkan. Tuhan Yesus menyelamatkan orang itu melalui iman
kepadaNya. Baptisan sebenarnya merupakan tanda dari beberapa makna rohani yang
penting: pertama, orang yang percaya
dibenarkan dan diberikan pengampunan dosa, seperti yang tercatat di dalam Kisah
2:38, “Bertobatlah dan hendaklah kamu
masing-masing memberi dirimu dibaptis dalam nama Yesus Kristus untuk
pengampunan dosamu . . . .” Dari ayat ini kita bisa ketahui, bahwa
pertobatan mendahului baptisan.
Kedua, baptisan menandai kelahiran baru sebagai awal hidup yang
baru. Rasul Paulus berkata, “Dengan
demikian kita telah dikuburkan bersama-sama dengan Dia oleh baptisan dalam
kematian, supaya, sama seperti Kristus telah dibangkitkan dari antara orang
mati oleh kemuliaan Bapa, demikian juga kita akan hidup dalam hidup yang
baru” (Roma 6:4).
Ketiga, baptisan menandai masuknya orang yang dibaptis ke dalam perjanjian
baru dengan Allah. Perjanjian Lama adalah perjanjian antara Allah dengan
Abraham. Tanda perjanjian itu adalah sunat, seperti yang dikatakan di dalam
ayat berikut ini, “Aku akan mengadakan perjanjian antara Aku dan engkau serta keturunanmu
turun-temurun menjadi perjanjian yang kekal, supaya Aku menjadi Allahmu dan
Allah keturunanmu. Inilah perjanjianKu yang harus kamu pegang . . . yaitu setiap
laki-laki di antara kamu harus
disunat” (Kej. 17:7,10).
Tanda sunat di
dalam Perjanjian Baru digantikan dengan upacara baptisan, seperti yang dijelaskan
oleh rasul Paulus sbb., “Dalam Dia kamu
telah disunat, bukan dengan sunat yang dilakukan oleh manusia tetapi dengan
sunat Kristus, yang terdiri dari penanggalan akan tubuh yang berdosa, karena
dengan Dia kamu dikuburkan dalam baptisan, dan di dalam Dia kamu turut
dibangkitkan juga oleh kepercayaanmu ….” (Kol. 2:11-12).
Keempat,
baptisan juga menyatakan kesaksian di hadapan Allah, gereja Tuhan, umat
manusia, dan Setan. Di hadapan Allah,
orang itu bertekad untuk taat kepada Allah saja melalui Tuhan Yesus. Di hadapan
gereja Tuhan, ia berkata “Aku mau
bergabung untuk berbakti dan melayani bersama dengan segenap umat Tuhan lainnya.”
Di hadapan manusia, orang itu berkata, “Sekarang
aku adalah pengikut Kristus.” Sedangkan, di hadapan Setan ia berkata, “Mulai saat ini aku putuskan hubunganku
dengan Setan dan roh-roh jahat.”
Tidaklah
cukup hanya percaya kepada Yesus di dalam hati saja. Kepercayaan itu harus
berani dinyatakan secara terbuka, seperti yang Paulus katakan, “Karena dengan hati orang percaya dan
dibenarkan, dan dengan mulut orang mengaku dan diselamatkan” (Roma
10:10). Selain itu Tuhan Yesus pernah berkata, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan diselamatkan . . . .” (Mrk.
16:16).
3.
Baptis Selam ataukah Baptis Percik?
Salah satu isu yang seringkali diperdebatkan oleh orang-orang
Kristen di seluruh dunia adalah baptis percik dan selam. Bagi sebagian
denominasi gereja, metode tertentu dari baptisan malah menjadi ciri khas
kelompok mereka dan ditetapkan sebagai syarat keanggotaan.
Metode baptis selam biasanya memakai dua cara, yakni: pendeta
menelentangkan orang itu ke dalam air dan menyanggahnya dengan tangannya, lalu
mengangkatnya kembali. Cara kedua adalah pendeta, dengan menekan kepala orang
itu, membenamkannya ke dalam air (dipping).
Metode baptis
percik juga ada beberapa cara, yakni: memercikkan air tiga kali (atas nama
Bapa, Anak dan Roh Kudus). Ada yang memercikkan cukup sekali saja. Ada juga
yang dengan menuangkan air ke atas kepala orang itu. Yang mana yang benar?
Gereja yang mempraktekkan baptisan selam biasanya memakai kata baptizw (baptizo) yang
berarti: menyelam, dan memasukkan ke dalam air berulang kali. Misalnya Lukas
16:24; Yoh. 13:26; Wah. 19:13, kata ini berarti ‘mencelupkan’.
Cara Yesus dibaptiskan, menurut mereka, adalah dengan
diselamkan, seperti tertulis, “Sesudah
dibaptis, Yesus segera keluar dari air[7]
….” (Mat. 3:16). Demikian pula ketika Filipus membaptiskan sida-sida dari
Etiopia, “… dan keduanya turun ke dalam
air … dan Filipus membaptis dia” (Kis. 8:38).
Di lain pihak, gereja yang mempraktekkan baptis percik atau
tuang mempunyai argumentasi lain lagi. Kata ebaptisqh(ebaptisthe) berarti menuangkan
air ke tangan, seperti yang tercatat di dalam Luk. 11:38. Tradisi Yahudi di
dalam “mencuci tangan” adalah dengan cara menuangkan air (cat.: bukan
mencelupkan) ke tangan mereka.
Kata lainnya adalah ebaptisanto (ebaptisanto)
di dalam 1 Kor. 10:2 diterjemahkan sebagai
“dibaptis dalam awan dan dalam laut”. Maksudnya adalah: dinaungi awan dan
terkena percikan air laut Teberau.
Sebelum seorang Lewi menjalankan tugas di Bait Allah pada usia
30 tahun, ia harus mengikuti upacara pentahiran dengan cara dipercikkan air penghapus dosa,
mencukur seluruh tubuh dan mencuci
pakaiannya (Bil. 8:7).
Memang, cara baptisan dengan selam lebih mudah menjadi kiasan
kematian (penguburan) manusia lama dan kebangkitan manusia baru (Roma 6:4).
Namun perlu diingat, bahwa cara penguburan orang Yahudi pada jaman Tuhan Yesus
melayani di dunia ini bukan seperti penguburan yang dilakukan di Indonesia,
yakni dengan memendamkan mayat itu ke dalam tanah, namun dengan memasukkan
mayat itu ke dalam goa batu.
Didache[8] adalah suatu
kumpulan pedoman pendek tentang hidup moral dan bergereja yang terdiri dari 16
pasal. Buku ini ditulis sekitar awal abad kedua Masehi. Di dalam bagian yang
disebut “Dua Jalan” terdapat pembahasan tentang baptisan sbb.,
“Berkenaan dengan baptisan, baptiskanlah
sbb.: setelah mengucapkan hal yang diatas (cat.: bersangkutan dengan iman,
pertobatan, dll) …. Baptiskanlah mereka di dalam air yang mengalir di
dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus. Jikalau kalian tidak memiliki air yang
mengalir, baptiskanlah mereka di dalam air yang lain; jikalau kalian
tidak dapat
melakukannya dalam air yang dingin,
maka lakukanlah di dalam air yang hangat. Tetapi jikalau kalian tidak
dapat melakukannya juga, maka tuangkanlah air tiga kali di atas kepala
mereka ‘di dalam nama Bapa dan Anak dan Roh Kudus”
Jadi,
dari Didache tsb kita bisa simpulkan, bahwa metode baptisan bisa fleksibel
tergantung situasi dan kondisinya. Jika sarananya memungkinkan, baptisan bisa
dilakukan di dalam ‘air yang mengalir’ atau bisa juga di ‘air yang lain’ (cat.:
air yang tidak mengalir); dapat pula memakai air dingin atau air hangat. Namun,
kalau ada kesulitan tertentu, yakni mungkin karena jumlah airnya tidak
mencukupi atau orang yang akan dibaptis itu sedang sakit dan kondisinya tidak
memungkinkan, maka sakramen baptisan dapat dilakukan dengan cara menuangkan air
di atas kepalanya.
4. Baptis Bayi (Infant Baptism) atau Penyerahan Anak (Pencaosan)?
Sebagian gereja menyelenggarakan baptisan bayi dan banyak pula
yang melakukan upacara ‘penyerahan anak’ (pencaosan
anak). Yang mana yang benar? Masing-masing kelompok mencari dukungan ayat
firman Tuhan. Gereja yang melakukan ‘penyerahan anak’ biasanya mengutip Matius
19:14-15 sebagai dasar ajaran mereka,
“Tetapi Yesus berkata, ‘Biarkanlah anak-anak
itu, janganlah menghalang-halangi mereka datang kepadaKu; sebab orang-orang
yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Sorga.’ Lalu Ia meletakkan
tanganNya atas mereka dan kemudian Ia berangkat dari situ.”
Selain ayat tsb, biasanya argumentasi mereka adalah baptisan
itu hanya dilakukan bagi orang-orang yang sudah mengaku percaya kepada Tuhan
Yesus (believers’ baptism). Bayi-bayi
belum dapat mengaku percaya. Rasul Petrus berkata, “Bertobatlah dan hendaklah kamu masing-masing memberi dirmu dibaptis
dalam nama Tuhan Yesus Kristus untuk pengampunan dosamu . . . .” (Kis.
2:38). Di dalam ayat ini dijelaskan, bahwa pertobatan mendahului baptisan.
Demikian pula perkataan Tuhan Yesus di dalam Markus 16:16, “Siapa yang percaya dan dibaptis akan
diselamatkan . . . .” Jadi jelas, bahwa baptisan hanya untuk orang-orang
yang sudah bisa mengaku percaya, sedangkan bagi bayi-bayi hanya dilakukan
‘pencaosan’. Setelah menjadi besar, mereka mengikuti katekisasi dan baru bisa dibaptiskan.
Kelompok gereja yang melakukan ‘baptisan bayi’ mempunyai
argumentasi lain lagi. Biasanya mereka mengaitkan baptisan dengan upacara sunat
di dalam masa Perjanjian Lama yang menjadi tanda Perjanjian Allah kepada
Abraham (sebagai ‘Bapa orang beriman’). Demikianlah Allah berfirman kepada
Abraham, “Inilah perjanjianKu, yang harus
kamu pegang, perjanjian antara Aku dan kamu serta keturunanmu, yaitu setiap
laki-laki di antara kamu harus disunat.... Anak yang berumur 8 hari
haruslah disunat, yakni setiap laki-laki di antara kamu . . . ..”
(Kej. 17:10-12).
Tentulah bayi-bayi yang disunat itu belum mengerti firman dan
belum bisa mengakui iman mereka kepada Yahweh. Namun, berdasarkan iman orang
tua, mereka dimasukkan ke dalam kelompok perjanjian Allah. Hal ini disebut
dengan istilah ‘the grace of God is prior
to human response’ (anugerah Allah mendahului respon manusia).
Namun sunat hanya untuk anak lelaki saja. Apakah itu berarti
bahwa perjanjian Allah hanya untuk pria? Tidak! Perjanjian Allah adalah untuk
seluruh ‘keturunan Abraham turun-temurun’ (Kej. 17:7). Cuma dalam PL, Tuhan
memandang cukup hanya laki-laki dan anak lelaki saja yang menerima tanda
perjanjian itu.
Sunat secara jasmani tidaklah
menyelamatkan; yang lebih penting adalah perubahan hati, “Sebab itu sunatlah hatimu dan janganlah lagi kamu tegar tengkuk”
(Ul. 10:16). Tuhan membenarkan orang beriman. Sunat mengandung tuntutan iman,
seperti yang dilakukan Abraham, “Dan
tanda sunat itu diterimanya sebagai meterai kebenaran berdasarkan iman
yang ditunjukkannya, sebelum ia bersunat. Demikianlah ia dapat menjadi
bapa semua orang percaya yang tak bersunat, supaya kebenaran diperhitungkan
kepada mereka, dan juga menjadi bapa orang-orang bersunat, yaitu mereka yang
bukan hanya bersunat, tetapi juga mengikuti jejak iman Abraham, bapa
leluhur kita, pada masa ia belum bersunat” (Roma 4:11-12).
Di dalam PB, tanda sunat itu diganti dengan baptisan (Kol.
2:11-12). Sama seperti pada masa PL, perjanjian Allah adalah untuk seluruh
‘keturunan Abraham turun-temurun’ (Kej. 17:7), demikian pula di dalam PB,
seperti yang dikatakan oleh Rasul Petrus, “Sebab
bagi kamulah janji itu dan bagi anak-anakmu dan bagi orang yang masih
jauh, yaitu sebanyak yang akan dipanggil oleh Tuhan Allah kita” (Kis.
2:39). Janji itu maksudnya adalah hal pengam-punan dosa dan karunia Roh Kudus
(bnd. ayat 38).
Seperti orang Israel membawa bayi-bayi mereka untuk disunat,
maka para orang tua Kristen membawa bayi-bayi mereka untuk dibaptiskan. Dengan
perbuatan demikian, mereka diingatkan untuk mendidik anak-anak itu di jalan
Tuhan, sehingga pada suatu saat nanti, setelah mengikuti katekisasi, anak-anak
itu dapat mengakui iman percaya mereka di hadapan Tuhan dan jemaatNya di dalam
upacara SIDI.[9]
Apakah ‘baptisan bayi’ ini tidak bertentangan dengan ayat yang
mengatakan, “Bertobatlah dan hendaklah
kamu masing-masing memberi dirimu dibaptis....” (Kis. 2:38)? Tidak! Sebab seruan di dalam Kisah 2:38 itu berlaku
untuk semua penginjilan. Bayi-bayi belum bisa diinjili karena mereka
belum bisa mengerti, tidak demikian halnya
dengan orang-orang dewasa. Para bayi dari umat Tuhan perlu diberikan
tanda dari perjanjian Allah, yakni baptisan. Baru kemudian, pada tahun-tahun
berikutnya, mereka diajarkan firman Tuhan yang menuntun mereka ke dalam pertobatan
dan keselamatan.
Setelah mengikuti
diskusi di atas, berikut ini adalah kesimpulannya:
1. Baptisan air
adalah perintah Tuhan, tetapi baptisan itu sendiri tidaklah menyelamatkan. Iman
kepada Tuhan Yesus-lah yang menyelamatkan.
2. Metode baptisan
air bukanlah yang terpenting. Baptis selam atau percik ataupun tuang
masing-masing memiliki ayat-ayat pendukung di dalam Alkitab. Yang terpenting
adalah makna baptisan itu.
3. Baik penyerahan
anak maupun baptisan bayi masing-masing memiliki
dukungan ayat dalam Alkitab. Kedua upacara itu tidaklah secara otomatis menyelamatkan
si anak; tetapi melalui upacara itu para orang tua diingatkan untuk membimbing
anak-anak mereka kepada jalan Tuhan, sehingga pada saatnya nanti anak-anak itu
secara pribadi mengakui Yesus adalah Tuhan dan Juruselamat mereka. Pencaosan
anak maupun baptisan bayi hanya dapat dilakukan bagi anak-anak yang mempunyai orang
tua sudah percaya Tuhan Yesus (cat.: kalau bukan suami-istri yang sudah
percaya, minimal salah satu dari mereka).
4. Dengan pemahaman
ini, diharapkan setiap gereja dapat saling mengerti satu dengan lainnya. Gereja
tidak perlu memperdebatkan, apalagi terpecah-belah disebabkan oleh hal-hal yang
sekunder. Biarlah yang relatif jangan dimutlakkan, sebaliknya yang mutlak
jangan direlatifkan.
[1] Pdt.
Roby Setiawan meraih gelar Doctor of
Theology in Practical Theology di Asia Baptist Graduate Theological Seminary,
Baguio City-Philippines (1996). Gelar
Doktor tsb disetarakan di DIKTI Senayan-Jakarta November 2011. Ia sebagai Ketua Bidang Teologia & Pengajaran Sinode GKRI (anggota PGI & PGLII), Ketua Umum PGKS (Persekutuan Gereja-Gereja Kristen di
Semarang), dosen
pasca sarjana di beberapa seminary dan perintis serta gembala GKRI Roti Hidup, Semarang.
[5] Pada mulanya,
sebagai mantan pendeta di gereja Metodis, William
Booth mengakui dan melayani baptisan air. Anak-anaknya juga dibaptiskan.
Para pengikutnyapun pada mulanya, dan di tempat-tempat tertentu, tidak dilarang
menerima sakramen itu. Namun, sejak
keputusan William Booth, tanggal 2 January 1883, Gereja “Bala Keselamatan”
tidak lagi melayani ataupun mengakui kedua sakramen (baptisan dan perjamuan
kudus). (Jan S. Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja
[Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996], 281, 284).
[6]Artinya adalah hal
yang nyata berada di dunia ini yakni yang kita lihat. Ajaran ini bertentangan
dengan filsafat idealisme dari Plato yang berkata, bahwa hal yang nyata
berada di dunia ide.
[7] Ayat ini oleh mereka
yang mempraktekkan baptis percik / baptis tuang ditafsirkan sbb.: Yohanes
Pembaptis adalah anak dari imam Zakharia, jadi ia tahu upacara pentahiran di
Bait Suci, yakni dengan cara memercikan air penghapus dosa (Bil. 8:7). Menurut
tafsiran mereka, orang-orang itu memang ‘masuk ke air’ sungai Yordan, cuma hal
itu tidak mesti bahwa mereka ditenggelamkan ke dalam air, tetapi mereka cukup
berdiri di air, lalu Yohanes Pembaptis memercikkan air ke atas kepala mereka,
atau menuangkan air ke atas kepala mereka (sebagai lambang pencurahan Roh
Kudus).
[9] Upacara ‘sidi’ ini
mengingatkan kita akan tradisi Israel di dalam PL. Pada usia 12 tahun, setiap
anak lelaki Yahudi harus dibawa ke Bait Allah dan menjadi ‘anak Torat’,
maksudnya adalah mulai usia 12 tahun mereka harus melakukan kewajiban Torat
(bnd. Luk. 2:41-42). Demikian pula sekarang, setiap anak yang berusia 12 tahun,
yang pada waktu bayinya sudah dibaptis, wajib mengikuti katekisasi dan di-‘sidi’ (mengakui imannya di hadapan
jemaat).
0 Komentar untuk "B A P T I S A N K U D U S"