Ini Bukan Jaman Modern, tetapi Postmodern!



Oleh: Pdt. Roby Setiawan, Th.D.[1]



Adalah Thomas Oden yang membagi jaman kita ke dalam 2 kategori, yakni jaman: modern dan post-modern. Era modern dimulai dengan jatuhnya penjara Bastille di Perancis th 1789. Era pasca (post) modern dimulai dengan runtuhnya Tembok Berlin, yang panjangnya 300 km, pada th1989.
Era modern, selama kurang lebih 200 th, ditandai dengan pengagungan rasio. Manusia membuang segala sesuatu yang bersifat mistis dan supra-natural karena dianggap tahyul. Sedangkan era post-modern (postmo) ditandai dengan kembalinya hal-hal yang dahulu dibuang oleh manusia modern, sekarang dipelajari malah digandrungi, misalnya hal-hal yang bersifat: mistis, supra-natural, hipnotis, perdukunan, dll.
Munculnya era postmo ini bertentangan dengan  teori yang pernah diajarkan oleh seorang filsuf yang bernama August Comte (1789-1857). Dia mengatakan bahwa manusia akan sampai pada tahap tertinggi (tahap ketiga, yang disebut sebagai jaman ilmiah atau jaman positip), yakni Allah dan hal-hal yang bersifat supranatural akan ditinggalkan, dan semua itu akan dianggap  sebagai tahyul.[2] Teori August Comte tersebut cocok untuk era modern, dan bukan pada era postmo. Ada beberapa ciri dari era Post-Modern:

1.       Misticisme (hal-hal yang bersifat gaib) kembali digandrungi. Sebagian orang telah jenuh dengan gaya modernisme yang hanya menekankan rasio. Sekarang mereka malah tertarik dengan hal-hal yang bersifat mistik/gaib. Hal-hal para-natural[3] malah  menarik perhatian mereka. Rupanya hal tsb juga mempengaruhi sebagian orang Kristen. Mereka tidak
senang mengikuti pendalaman Alkitab yang banyak menggunakan rasio; sebaliknya mereka senang mencari hal-hal yang sensasional, mimpi-mimpi, dan pernyataan-pernyataan seperti, “Tadi Tuhan bicara kepada saya....” Hal ini sebenarnya merupakan reaksi balik dari kekeringan rasionalisme.

Tanggapan penulis:
Tuhan Yesus pernah mengajarkan agar umatNya mengasihi Allah dengan segenap hati, akal budi, kekuatan dan jiwa mereka (Mrk. 12:30). Jadi, perlu adanya keseimbangan di antara keempat aspek tsb.

2.      Agama-agama Timur kuno dibangkitkan kembali, lalu diberi ‘jubah science/ilmu pengetahuan”. Yoga, Transcendental Meditation (TM), tenaga dalam, Tai-Chi, Reiki, dan kepercayaan akan reinkarnasi dipelajari kembali. Banyak film Hollywood yang berisikan hal tsb. Bahkan, simbol NAZI Hitler-pun dibuat mirip seperti swastika dalam Budhisme.

3.      Penyembuhan holistik muncul dimana-mana. Teknik penyembuhan seperti  ini adalah perpaduan antara cara medis, mistis, dan okultis, misalnya: dengan bertapa, mantra, meditasi, serta jimat untuk mendapatkan keamanan & kedamaian hati.

Tanggapan penulis:
UmatNya perlu berhati-hati dengan tipuan Iblis. Jangan sampai untuk mendapatkan tubuh yang sehat tetapi jiwa dicengkeram oleh Iblis.

4.      Mereka menekankan berbagai pengalaman yang sensasional, misalnya: trance (tidak sadarkan diri), pengalaman di luar tubuh jasmani, telepati mental, mengangkat diri dan terbang.

5.      Pengagungan potensi manusia. Para tokoh Gerakan Zaman Baru berkata, “Apabila engkau melihat dirimu sendiri, maka sebenarnya engkau adalah Allah. Melalui meditasi dan kontemplasi, engkau akan mengembangkan potensimu yang tidak terbatas di dalam dirimu.”
Meditasi dan kontemplasi adalah cara mereka untuk mengalami ‘pencerahan’, yakni untuk menyadari siapa diri mereka yang sebenarnya. Kemudian,  diadakanlah training-2 ‘pengembangan pribadi’ yg bernafaskan GZB.
Visualisasi digunakan untuk menyadarkan seseorang akan kesempurnaannya.

Tanggapan penulis:
Alkitab mengatakan, bahwa manusia dicipta menurut peta dan gambar Allah (Kej. 1:27). Berarti, manusia dicipta  mirip Allah dan bukan Allah. Mirip berarti bukan. Adam dan Hawa, seperti Lucifer, dihukum Allah karena mau menjadi sama dengan Allah (Kej. 3:5; Yes. 14:13-14). Allah bisa menjadi manusia (di dalam diri Tuhan Yesus), tetapi manusia tidak bisa menjadi Allah. Setelah jatuh ke dalam dosa, semua potensi manusia telah dipolusikan dosa.

6.      Falsafah hidup pragmatisme menguasai hidup manusia. Ada beberapa ciri pragmatisme[4]:
             a.      Yang benar adalah yang bermanfaat secara praktis. Pengalaman-pengalaman pribadi diterima asal bermanfaat, bahkan kebenaran mistispun diterima, asalkan hal itu berakibat praktis yang bermanfaat.
            b.      Mereka menolak intelektualisme, absolutisme, dan meremehkan logika formal. Para tokohnya adalah: William James, John Dewey (USA) dan FCS Schiller (Inggris).
             c.      Pengalaman lebih diutamakan daripada doktrin. Asal pengalaman tertentu menjadi ‘berkat’ bagi hidupnya, maka itu yang diterima, walaupun doktrinnya tidak sesuai dengan prinsip-prinsip firman Tuhan.
            d.      Etika ditempatkan di atas doktrin.  Pemikiran seperti ini diawali oleh seorang filsuf Jerman yang bernama: Gotthold Ephraim Lessing (1729-81) di dalam bukunya “Nathan the Wise”. Menurutnya, ada 3 agama besar yang pada suatu hari nanti akan bersatu, yaitu: Kristen, Islam dan Yudaisme. Ketiga agama tsb sama-sama meng-klaim mendapatkan wahyu Ilahi. Agama yang mana yang benar? Untuk menjawabnya, hal itu tidak dapat ditinjau dari perkataan mereka, tetapi hanya dari buah mereka. Yang sungguh-sungguh memiliki KASIH  akan sukses. Jadi, pada suatu hari ketiga agama itu akan disatukan di dalam suatu AGAMA KASIH YG UNIVERSAL.
Hal ini senafas dengan ajaran Immanuel Kant yg pernah menuliskan makalah yg terkenal “Towards The Eternal Peace”. Makalah ini diangkat kembali dalam konferensi perdamaian di Paris (1919, stlh PD I) . Konferensi memutuskan untuk tidak ada perang lagi. Mereka mengadakan pawai dan membentuk Liga Bangsa-Bangsa. Tetapi 20 th kemudian, terjadi lagi PD II. Masalahnya, mereka abaikan fakta dosa yang membuat manusia menjadi egois, serakah, benci, dan mau menang sendiri.

Tanggapan penulis:
Falsafah hidup pragmatisme bertentangan dengan prinsip firman Tuhan. Amsal 23:23 mengajarkan, bahwa yang terpenting adalah kebenaran, bukan pengalaman. Kebenaran harus dibeli jangan dijual. Pengalaman sifatnya subyektif dan relatif, tetapi kebenaran firman Tuhan itu obyektif dan mutlak. Doktrin dan teologia yang benar haruslah menjadi standard bagi etika. Paulus menasehati Timotius agar mengawasi kehidupannya (etika) dan doktrinnya. Sebab dengan berbuat demikian, ia akan menyelamatkan dirinya dan semua orang yang diajarnya (1 Tim. 4:16). Kasih tidaklah dapat berdiri sendiri. Kasih yang sehat adalah kasih yang suci dan sesuai dengan prinsip firman Tuhan.

7.      Relativisme menggantikan absolutisme. Bagi mereka, tidak ada kebenaran yang absolut. Bukan hanya Alkitab adalah firman Tuhan; kitab suci agama lainpun juga firman Tuhan.  Bukan hanya Yesus yang bisa menyelamatkan. Menurut mereka, Yesus tidak mempunyai keistimewaan, karena Kristus berada juga di dalam Budhisme, Confusionisme, Shintoisme, dll.
Arnold Toynbee pernah berkata, “Ya Allahku, Engkau adalah Yahweh, Engkau adalah Budha, Engkau adalah Confusius, Engkau adalah yg dicari oleh semua agama.
Karl Rahner[5] (seorang teolog Katolik) menyebut ‘anonymous Christian’ di dalam agama-agama lain. Para pemeluk agama lain tidak perlu di-Injili, tetapi hanya perlu disadarkan akan keberadaan Kristus di dalam agama mereka.

Tanggapan penulis:
Orang yang memegang teguh pendapatnya: “Tidak ada yang absolut, semua relatif”, tanpa ia sadari sebenarnya sikap atau pendapatnya itu sendiri sudah absolut (mutlak). Sebenarnya, kehidupan manusia senantiasa membutuhkan hal yang absolut untuk menjadi pedoman hidup mereka. Cuma sayangnya, sebagian orang menjadikan: lingkungan, si-kon, filsafat hidup manusia yang terbatas, bahkan agama ciptaan manusia sebagai hal yang absolut untuk menjadi pedoman hidup mereka. Hanya firman Tuhan yang kekal yang layak menjadi pedoman hidup yang absolut. Tuhan Yesus berkata, “Langit dan bumi akan berlalu, tetapi perkataanKu tidak akan berlalu” (Mat. 24:35).
Klaim Yesus tentang Dirinya adalah absolut, dan tidak ada seorangpun yang pernah berkata dan berani meng-klaim dirinya seperti klaim Yesus. Misalnya: Yesus berkata, “Akulah jalan, kebenaran, dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa kalau tidak melalui Aku” (Yoh. 14:6). “Akulah Kebangkitan dan Hidup, barangsiapa percaya kepadaKu, ia akan hidup walaupun ia sudah mati” (Yoh. 11:25). KeberanianNya itu didasarkan pada kebenaran yang pasti dan kekal. Biarlah yang mutlak jangan direlatifkan; sebaliknya, yang relatif janganlah dimutlakkan.

8.     Keragaman (diversity) lebih ditekankan, dan bukan pada penilaian: salah atau benar. Misalnya: kehidupan homoseksual itu bukan hal yang salah, tetapi hanya berbeda. Karena alasan inilah, maka pernikahan antar sesama orang homo dilegalkan di sebagian negara Eropa.

Tanggapan penulis:
Hal ini merupakan salah satu cara menyederhanakan dan menghalalkan dosa. Homoseksualitas jelas-jelas ditentang oleh firman Tuhan (Rom 1:27).

9.      Persatuan lebih ditekankan daripada kebenaran. Para pengikut GZB gandrung akan persatuan dan ‘perdamaian’, tetapi mengabaikan kebenaran.

Tanggapan penulis:
Tuhan Yesus pernah berdoa untuk persatuan (Yoh. 17:21,23). Namun persatuan yang dikehendakiNya adalah berdasarkan kebenaran firman. “Kuduskanlah mereka dalam kebenaran, firmanMu adalah kebenaran” (Yoh. 17:17). Persatuan yang tidak didasarkan pada kebenaran adalah persatuan semu yang tidak akan langgeng.

Allah yang kita kenal di dalam Tuhan Yesus adalah Allah masa lalu (sejarah), Allah masa kini, dan Allah masa depan (bnd. Kel. 3:6-8). Dia selalu mengontrol segala kejadian yang terjadi di dunia ini. Kehendak dan kebenaran firmanNya pasti senantiasa terjadi di dunia ini. Oleh karena itu, di dalam jaman atau era apapun, kita perlu taat kepada firmanNya.



[1] Pdt. Roby Setiawan meraih gelar Doctor of Theology in Practical Theology di Asia Baptist Graduate Theological Seminary, Baguio City-Philippines (1996). Gelar Doktor tsb disetarakan di DIKTI Senayan-Jakarta November 2011. Ia sebagai Ketua Bidang Teologia & Pengajaran Sinode GKRI (anggota PGI & PGLII), Ketua Umum PGKS (Persekutuan Gereja-Gereja Kristen di Semarang), dosen pasca sarjana di beberapa seminary dan perintis serta gembala GKRI Roti Hidup, Semarang. 

                [2] Harun Hadiwijono, Sari Sejarah Filsafat Barat 2 (Jogyakarta: Penerbit Kanisius, 1989), 110-11.
                [3] Istilah ini dituliskan oleh Douglas R. Groothuis  di dalam bukunya “Membuka topeng Gerakan Zaman Baru” (Jakarta: LRII, 1996), 280-81. Pengikut GZA memasukkan hal-hal supranatural ke dalam kemampuan diri manusia. Sehingga, padangan mereka terhadap mujizat bisa disebut sebagai PARA-NATURAL bukan supra-natural, karena mujizat tidak dilihat sebagai hal yang ‘di atas’ natur. Kata ‘para’ di dalam bahasa Yunani berarti: at the side of, alongside (berdampingan), by the side of (di samping).
                [4] Harun Hadiwijono, 130-31.
                [5] John T. Seamands, Tell It Well: Communicating The Gospel Across Cultures (Kansas City: Beacon Hill Press, 1981), 50.
Tag : Artikel
0 Komentar untuk "Ini Bukan Jaman Modern, tetapi Postmodern!"

Back To Top