Menyikapi Ajaran Kutuk Nenek Moyang

Disusun oleh: Pdt. Roby Setiawan, Th.D.[1]


Dengan lugunya, seorang perempuan muda mendatangi gembala sidangnya sebelum ibadah Minggu pagi dimulai, dan berkata kepadanya, “Pak pendeta, bisakah Anda berdoa untuk saya” Pak pendeta bertanya, “Oh, bisa saja. Ada pokok doa khusus?” Wanita tsb menjawab, “Ya, saya perlu dibebaskan dari kutuk nenek moyang.” Pak pendeta menjawab, “Oh, tidak, kamu tidak ada kutuk nenek moyang.” “Tetapi, pak Pendeta, Bp. tidak mengerti, ayah saya berwatak bengis, dan saya juga berwatak seperti itu.” Pak pendeta menjelaskan, bahwa watak tsb adalah disebabkan oleh tingkah laku yang dipelajari sejak kecil, bukan kutuk nenek moyang. Watak yang bengis adalah salah satu buah kedagingan, dan perlu karya Roh Kudus untuk mengalahkannya (Gal. 5:16,20). Perempuan itu kemudian paham dan dengan sukacita menerima ajaran sang pendeta. [2]


Pengaruh Tingkah Laku Orang Tua
bukan Kutuk Nenek Moyang?

Pengaruh orang tua terhadap tingkah tingkah laku anak-anak mereka adalah hal yang luar biasa. Menurut psikology, 85% kepribadian seseorang dibentuk pada masa usia 0-7 th, jadi sejak dalam kandungan sampai usianya 7 tahun. Pada masa itulah, pengaruh orang tua sangat besar. Anak-anak banyak belajar dari contoh (yang baik atau kurang baik) yang mereka lihat dan dengar dari orang tua mereka.
Sebagai contoh: imam Eli, kemungkinan, terlalu sibuk dengan pelayanannya kepada bangsa Israel, sehingga  kurang ada waktu untuk mendidik kedua anaknya, Hofni dan Pinehas, dengan baik. Sang imam juga tidak memarahi kedua anaknya yang telah menghujat Allah      (1 Sam. 3:13). Akibatnya, mereka semua dihukum Allah    (1 Sam. 3:14; 4:11,18).
Tuhan memerintahkan kepada semua orang tua untuk mengajarkan Torat secara berulang-ulang kepada anak-anak dan membicarakannya apabila sedang duduk di rumah, sedang dalam perjalanan, sedang berbaring dan bangun. Torat harus mempengaruhi semua perbuatan dan pemikiran umat Tuhan, dan menguasai kehidupan setiap rumah tangga mereka dan masyarakat di kota (Ul. 6:7-9).
Rasul Paulus mengajar para ayah agar tidak memperlakukan anak-anak sedemikian rupa, sehingga menjadi marah; tetapi didiklah mereka di dalam ajaran dan nasihat Tuhan (Ef. 6:4).
Seorang ibu berpengaruh sangat besar di dalam pendidikan iman dan karakter seorang anak. Sebagai contoh adalah Timotius. Ia dapat menjadi seorang hamba Tuhan yang baik dan dipakai Tuhan, tidak terlepas dari jasa dan teladan iman dari sang mama (Eunike) dan neneknya (Lois, 2 Tim. 1:5).
Pada pihak lain, ‘kutuk’ adalah suatu doa atau permohonan untuk mencelakakan atau mencederai orang lain. Jadi, ‘mengutuk’ adalah mengucapkan kata-kata angkara. ‘Kutukan’ berarti menggunakan kekuatan supranatural untuk mengirimkan suatu malapetaka terhadap seseorang.
Sebagian penulis menerbitkan buku-buku yang berorientasi pada ‘kutuk’, misalnya buku “Kutuk Yang Belum Dipatahkan” yang ditulis oleh Rebecca Brown dan Daniel Yoder, yang diklaim sebagai ‘best seller’. Perlu diingat, bahwa buku yang ‘best seller’ tidak identik dengan  mutunya baik dan benar. Buku tsb menjadi ‘best seller’ mungkin karena bersifat sensasional atau memenuhi ‘selera pasar’ saja.
Penulis yang lain bernama Neil Anderson pernah menulis sbb, “Orang-orang Kristen masih ditaklukkan oleh kutuk-kutuk nenek moyang yang tidak diketahui dan berefek buruk dalam kehidupan mereka.”[3]
Pada umumnya para penulis tsb mendasari ajaran mereka dari Keluaran 20:5-6, “Jangan sujud menyembah kepadanya atau beribadah kepadanya, sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan bapa kepada anak-anaknya, kepada keturunan yang ketiga dan keempat dari orang-orang yang membenci Aku; tetapi Aku menunjukkan kasih setia kepada beribu-ribu orang, yaitu mereka yang mengasihi Aku dan yang berpegang pada perintah-perintah-Ku.”
Apakah ayat tsb bicara soal kutuk nenek moyang? Bandingkanlah dengan Ulangan 24:16, “Janganlah ayah dihukum mati karena anaknya, janganlah juga anak dihukum mati karena ayahnya; setiap orang harus dihukum mati karena dosanya sendiri. Apakah kedua ayat di atas berkontradiksi?
Kemudian, Neil Anderson, salah satu pengajar ‘kutuk nenek moyang’, menjelaskan Kel. 20:4-5 sbb, “Roh-roh jahat diteruskan dari generasi ke generasi dan roh-roh jahat tsb mempunyai dasar untuk menganggu kehidupan orang-orang Kristen karena dosa-dosa generasi. Untuk menyingkirkan benteng-benteng roh jahat dari kehidupan orang Kristen, maka mereka harus mengucapkan kalimat doa tertentu untuk menghancurkan kuasa tsb, dan membutuhkan konselor-konselor untuk hal ini. Kalimat doanya adalah, “Aku membatalkan semua pekerjaan roh jahat yg diwariskan dari nenek moyangku ….”[4]    

Tanggapan penulis:
Ucapan doa tsb nampaknya sangat saleh; cuma, terdapat masalah yang sangat jelas. Kel. 20:4-5, tidaklah bicara soal Setan dan roh-roh jahat; tetapi  bicara soal Allah sendiri yang akan menghukum umatNya yang melanggar perjanjianNya. Perhatikanlah anak kalimat berikut ini, “… sebab Aku, TUHAN, Allahmu, adalah Allah yang cemburu, yang membalaskan kesalahan….” (ay. 5)
Di dalam Kolose 2:14-15—Tuhan SUDAH melucuti kuasa Setan dan roh-roh jahat pada 2000 th yll di atas salib Golgota. Orang-orang yang percaya kepada Tuhan Yesus mendapat bagian dari kemenangan Tuhan Yesus tsb. Namun, setiap umat Tuhan perlu  terus-menerus diperbaharui: AKAL BUDI-nya (Roma 12:2), dan MEKANISME TUBUH-nya yang sudah dipengaruhi oleh natur dosa perlu didisiplin dan dilatih untuk taat kepada kehendakNya (Roma 7:24; 1 Kor. 9:27).
John Calvin, tokoh Reformasi Gereja pada abad ke-16, mengomentari Keluaran 20:5-6, “Ketika Allah menyatakan, bahwa Ia akan menimpakan pelanggaran orang tua kepada keturunan mereka, itu tidak berarti bahwa Allah akan membalas dendam kepada mahluk hina yang tidak pantas untuk menanggungnya; tetapi Allah menghukum kejahatan nenek moyang kepada keturunannya, karena keturunan tsb juga mengikuti kejahatan nenek moyang mereka—sehingga membuat keturunan itupun pantas menerima hukuman dari Allah.”[5]
Ahli Perjanjian Lama, Walter Kaiser, menambahkan penjelasan tentang ayat di atas, “Keturunan yg mengulangi dosa-dosa nenek moyang mereka membuktikan diri mereka juga membenci Allah.” Kaiser menjelaskan kata “mereka yg membenci Aku” (Kel. 20:5) dikenakan kepada semua keturunan yang meniru dosa nenek moyang mereka. Keturunan tsb menunjukkan kebencian mereka kepada Allah dengan cara terus melakukan perjinahan rohani dan melanggar perjanjian dengan Allah yang adil.[6]
Perlu diperhatikan, bahwa penekanan Kel. 20:5-6 adalah pada kasih setia Tuhan dan bukan pada hukumanNya. Penafsiran ini didasarkan pada perbandingan kata-kata dalam kedua ayat tsb, yakni: sampai keturunan ketiga dan keempat’ dengan kataberibu-ribu orang’. Berapa banyakkah orang yang dilahirkan sampai keturunan ketiga dan keempat? Paling banyak sekitar 150-200 orang bukan? Tetapi Tuhan menunjukkan kasih setiaNya kepada beribu-ribu orang. Jadi penekanan kedua ayat ini adalah pada kasih setia Tuhan, bukan pada hukumanNya.
Bandingkanlah dengan Keluaran 34:6-7 dan Ulangan 5:9-10. Ayat ini sangat berkesan dalam pikiran masyarakat Yahudi, bahkan nabi Yunus ingat ayat ini ketika ia, dalam kebencian, menantikan hukuman Tuhan kepada raja dan bangsa Assyria yang haus darah itu. Sang nabi mengutipnya, “Sebab aku tahu, bahwa Engkaulah Allah yang pengasih dan penyayang, yang panjang sabar dan berlimpah kasih setia serta yang menyesal karena malapetaka yang hendak didatangkan-Nya” (Yun. 4:2b).
Allah lebih senang menyatakan kemurahanNya, dan bukan murkaNya. Kesetiaan Tuhan melampaui kegagalan manusia (bnd Mz.89:31-35; 2 Tim 2:13).
Bacalah Ul. 7:9-10. “Tetapi terhadap diri setiap orang dari mereka yang membenci Dia, Ia melakukan pembalasan dengan membinasakan orang itu. Ia tidak bertangguh terhadap orang yang membenci Dia. Ia langsung mengadakan pembalasan terhadap orang itu” (ay. 10).
       Yehezkiel 18:1-21 memberi penjelasan yang lengkap. Konteks ayat ini adalah bangsa Israel yang sedang mengalami penawanan karena nenek moyang mereka menyembah berhala. Lalu sebagian orang yang lahir dalam masa penawanan tsb bertanya, “Mengapa kami harus menanggung dosa nenek moyang kami?
Tuhan menjawab pertanyaan mereka. “Orang yang berbuat dosa, itu yang harus mati. Anak tidak akan turut menanggung kesalahan ayahnya dan ayah tidak akan turut menanggung kesalahan anaknya. Orang benar akan menerima berkat kebenarannya, dan kefasikan orang fasik akan tertanggung atasnya. Tetapi jikalau orang fasik bertobat dari segala dosa yang dilakukannya dan berpegang pada segala ketetapan-Ku serta melakukan keadilan dan kebenaran, ia pasti hidup, ia tidak akan mati” (Yeh. 18:20-21). Sisanya, silahkan pembaca membaca semua ayat di dalam Yehezkiel 18.
Orang yang percaya kepada Tuhan Yesus menerima berkat bersama dengan Abraham. Tuhan Yesus, yang telah disalibkan, telah mengangkat semua kutuk (Gal. 3:8-9,  13-14). “Kristus telah menebus kita dari kutuk hukum Taurat dengan jalan menjadi kutuk karena kita, sebab ada tertulis: "Terkutuklah orang yang digantung pada kayu salib! Yesus Kristus telah membuat ini, supaya di dalam Dia berkat Abraham sampai kepada bangsa-bangsa lain, sehingga oleh iman kita menerima Roh yang telah dijanjikan itu” (Gal. 3:13-14).

Siapakah Yang Menaruh Kutukan?

Jika para pengajar ‘kutuk nenek moyang’ itu ditanya, “Siapakah yang memberi kutukan itu?” Sebagian dari mereka mungkin bingung menjawabnya, tetapi sebagian lagi berkata, “Nenek moyang atau orang tua yang melakukannya.” Namun, Alkitab tidak pernah mengatakan demikian. Juga, kitab suci tidak menuliskan, bahwa Setan yang melakukannya, walaupun Setan selalu melakukan kejahatan terhadap manusia. 
Jawaban yang benar adalah: Allah yang memberi kutukan tsb. Setelah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa, Allah mengutuk tanah, “... maka terkutuklah tanah karena engkau; dengan bersusah payah engkau akan mencari rezekimu dari tanah seumur hidupmu” (Kej. 3:17). Allah pernah mengutuk Kain yang telah membunuh adik kandungnya sendiri (Kej. 4:11). Tentang Abraham, Allah berkata, “Aku akan memberkati orang-orang yang memberkati engkau, dan mengutuk orang-orang yang mengutuk engkau, dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat" (Kej. 12:3).
Di dalam Ulangan 28, Tuhan menjelaskan berkat bagi umatNya yang mau menaati firmanNya, namun di lain pihak berbagai kutuk yang akan Dia berikan kepada mereka jika tidak taat. UmatNya mengalami kutuk dari Tuhan karena tidak mengembalikan perpuluhan merka kepadaNya (Mal. 3:9).
Jika Allah yang mengutuk, apakah ada kuasa lain yang bisa mematahkannya? Tidak ada! Hanya Allah sendiri yang bisa melakukannya, jika umatNya bertobat. Hal tsb jelas terjadi pada diri raja dan rakyat Nineweh, yang tidak jadi dihukum Tuhan karena mereka bertobat (Yun. 3:10).
Satu contoh yang sangat indah adalah pembatalan kutuk terhadap Rut yang berasal dari suku Moab. Suku Moab dan Amon adalah hasil perjinahan antara Lot dengan kedua anak perempuannya (Kej. 19:30-38). Karena hal tsb, maka Tuhan melarang mereka untuk masuk ke jemaah Tuhan (Ul. 23:3). Namun, kutukan tsb dipatahkan ketika Rut berkata dengan iman di hadapan Naomi, mertuanya, “bangsamulah bangsaku dan Allahmulah Allahku” (Ruth 1:16). Kemudian Rut menjadi nenek-moyang dari raja Daud, dan namanya termasuk dalam daftar silsilah Yesus (Rut 4:17; Mat. 1:5).
Dukun Bileam dibayar oleh raja Balak untuk mengutuki bangsa Israel. Namun ia tidak mampu melakukannya, itu tertulis di dalam Bil. 23:8, “Bagaimanakah aku menyerapah yang tidak diserapah Allah? Bagaimanakah aku mengutuk yang tidak dikutuk TUHAN?
Menjadi umat Tuhan di dalam Kristus adalah menjadi kelompok orang yang diberkati dan dilepaskan dari kutukan yang sudah ditanggung oleh Yesus di atas salib (Gal. 3:13).

Hubungan Nenek Moyang dengan Keturunannya

Berikut ini adalah beberapa hubungan antara nenek moyang dengan keturunan mereka:
1.    Bakat dan sifat tertentu diturunkan.
2.   Penyakit tertentu diturunkan (mis.: trachom, jantung, lemah syaraf, asma, darah tinggi, dll). Hal ini bersifat genetis dan bukan magis.
3.   Ketrampilan, cara hidup, kebiasaan, falsafah hidup yang diajarkan (cat.: perlu dievaluasi berdasarkan prinsip firman Tuhan).
4.   Pujian dan celaan mereka terhadap anak-anak dan cucu pada masa kecil juga membentuk citra diri generasi muda itu. Ingatlah, 85% pembentukan kepribadian terjadi pada usia 0-7 th. Ini bukanlah ‘kutuk nenek moyang’.

Mengapa Ajaran Kutuk Nenek Moyang
Disenangi oleh Sebagian Orang?

1.       Sifat dosa manusia, yakni tidak mau menanggung dan mengakui kesalahan sendiri, tetapi mencari ‘kambing hitam’. Mengapa bisnis gagal? ‘Kambing hitam’-nya adalah: karena kutuk nenek moyang yang dahulunya bersikap jahat kepada banyak orang dan kena kutuk. Padahal, kegagalan bisnis sekarang ini mungkin dikarenakan karakternya yang malas dan kurang jujur.
2.      Sebagian orang senang mencari jawaban dan pertolongan yang instant dan tidak repot. Misalnya: untuk berhasil dalam bisnis, cukup dengan maju ke depan di dalam suatu kebaktian, berdoa dengan rumusan tertentu yang diajarkan oleh sang pengkotbah guna mematahkan kutuk nenek moyang. Tidak perlu konseling selama beberapa jam untuk mengevaluasi karakter diri.

Mengkritisi Buku
“Kutuk yang Belum Dipatahkan”

Berikut ini adalah sedikit ulasan tentang buku “Kutuk Yang Belum Dipatahkan” yang ditulis oleh Rebecca Brown, MD. Nama penulis ini sebelumnya adalah Ruth Irene Bailey. Ia dilahirkan di Shelbyville, Ind., dari pasangan Ebner dan Lois Bailey pada tg 21 Mei 1948. Namun, suatu lembaga psychiatrist yang terpercaya di USA mendiagnosa Rebecca, bahwa ia mengalami kekacauan kepribadian yang akut, termasuk mengalami delusi roh-roh jahat dan schizophrenia (kepribadian yang terpecah) paranoid (rasa curiga atau takut yang berlebihan). Mereka mengobservasi, bahwa Rebecca telah menginjeksi dirinya dengan cairan-cairan yang tidak diketahui.
Pada th 1984, lembaga medis menemukan fakta dari negara bagian Indiana tentang orang yang bernama Elaine (mantan imam gereja Setan yang disebut dalam beberapa buku Rebecca) adalah Edna Elaine Moses (atau Elaine Moses, atau Elaine Bailey). Ia adalah salah seorang dari pasien Rebecca. Elaine telah mendakwa Rebecca karena telah salah mendiagonosanya dengan penyakit leukemia, dan telah memberikan dosis telah banyak dari obat Demerol dan Phenobarbital. Akibatnya, Elaine harus diopname untuk mengobati keracunan tsb.[7]
Ada banyak hal yang perlu dikritisi dari buku Rebecca Brown. Kita melihat beberapa hal saja daripadanya,  misalnya: dari hlm. 23-24. Rebecca menghubungkan masalah perceraian, hubungan (sex) sedarah, kemiskinan, kemarahan yang tidak terkendali, kekafiran dengan kutuk nenek moyang.  Padahal kelakuan tsb sangat berkaitan kebiasaan yang dipelajari oleh setiap orang di dalam kehidupan sehari-hari dari orang tua dan lingkungan sekitarnya. Janganlah mencari ‘kambing hitam’ dari ‘kutuk nenek moyang’, tetapi evaluasilah diri sendiri.
Pada hlm. 33, Elisabet membahas tentang ‘kutuk kanker’. Mengapa terjadi penyakit kanker? Perlu dibahas tentang pola makan dan pola hidup orang jaman sekarang.
Rebecca Brown ‘memutlakkan’ pemakaian minyak urapan (bnd. hlm 129-130 dan banyak halaman lainnya). Jika kita mempelajari PL, minyak urapan dipakai untuk mengurapi orang-orang yang dilantik menjadi raja,  imam dan nabi bagi bangsa Israel (Kel. 29:7; 1 Sam. 16:1), Kemah Suci dan semua perlengkapannya (Kel. 40:9). Orang awam  DILARANG dan diperingatkan keras untuk tidak menerima minyak urapan (Kel.30:30-33).
Minyak urapan dalam PL adalah lambang urapan Roh Kudus. Oleh karenanya, minyak urapan tidak dibutuhkan lagi setelah Pentakosta (Kis. 2).
Kitab Yakobus 5:13-16 menyebutkan pemakaian MINYAK (cat.: bukan minyak urapan) untuk mendoakan orang sakit. Maksud ayat ini adalah:
1.    Minyak disini—mewakili obat-obatan  (bnd. Luk. 10:34).
2.   Yang terpenting adalah doa dengan iman (pistos=setia kpd janji Allah).
3.   Pengampunan dosa pasti terjadi—jika orang yang sakit tsb beriman kepada Tuhan Yesus.

Di dalam Markus 6:13 dituliskan, bahwa kedua belas rasul mendoakan orang sakit dengan mengoles mereka dengan minyak. Apa maksudnya? Ini juga bukan minyak urapan, sebab di dalam Torat dikatakan, bahwa minyak urapan tidak boleh dikenakan kepada badan orang biasa, kecuali mereka yang ditahbiskan menjadi raja, imam, nabi dan benda-benda kudus di Bait Allah (Kel. 30:30-33).
Minyak di dalam Mrk. 6:13 menunjuk pada kebiasaan orang Yahudi pada waktu itu untuk memberi efek sejuk, menenangkan saraf dan meredakan rasa sakit pada tubuh orang yang sedang menderita.[8] Bandingkan dengan perbuatan ‘orang Samaria yang baik hati’ yang menyirami luka-luka orang yang hampir mati itu dengan minyak dan anggur (Luk. 10:34). Pada waktu sakitnya, Herodes Agung pernah berendam di tempat yang diisi dengan minyak, dan sang raja mendapatkan manfaat daripadanya.[9]
Mengapa ‘minyak urapan’ (cat: istilah yang biasa digunakan oleh sebagian kelompok) diklaim manjur bagi sebagian orang? Jawab: inilah cara Iblis untuk membuat benda tsb menjadi berhala bagi sebagian orang.
Halaman 77—Rebecca sangat takut dengan daerah-daerah tertentu yang dianggapnya sebagai dikuasai oleh Setan. Padahal, sebagai umat Tuhan kita harus percaya bahwa semua bagian bumi ini adalah MILIK TUHAN (Mz. 24:1). Di dalam hati umat Tuhan, sudah dikaruniakan Roh Kudus yang lebih besar daripada roh-roh di dalam dunia ini (! Yoh. 4:4). Roh jahat tsb harus diusir di dalam nama Tuhan Yesus.
Tentang makanan persembahan berhala (hlm 120) sudah dibahas oleh rasul Paulus di dalam 1 Kor. 8:1-13.
Kesimpulan: buku ini tidaklah membangun iman umat Tuhan; sebaliknya malah membuat umat Tuhan menjadi bingung dan dipenuhi oleh ketakutan. Umat Tuhan tidak diajar untuk mengevaluasi diri, tetapi mencari ‘kambing hitam’ dari ‘kutuk nenek moyang’.








[1] Pdt. Roby Setiawan meraih gelar Doctor of Theology in Practical Theology di Asia Baptist Graduate Theological Seminary, Baguio City-Philippines (1996). Gelar Doktor tsb disetarakan di DIKTI Senayan-Jakarta November 2011. Ia sebagai Ketua Bidang Teologia & Pengajaran Sinode GKRI (anggota PGI & PGLII), Ketua Umum PGKS (Persekutuan Gereja-Gereja Kristen di Semarang), dosen pasca sarjana di beberapa seminary dan perintis serta gembala GKRI Roti Hidup, Semarang. 

[2] Enrichment Journal, “Encountering Generational Curses” by Opal S. Reddin.
[3] Neil T. Anderson, The Bondage Breaker (Harvest House: Eugene, OR, 1990).
[4] Anderson, 203.
[5]John Calvin, Harmony of the Law, Vol. 2, “Exposition of the 2nd Commandment”.
[6]Walter Kaiser, “Commentary on Exodus” in The Expositors Bible Commentary, Vol. 2  (Zondervan: Grand Rapids, 1990) 423.

[7] Wikipedia, Free Encyclopedia, “Rebecca Brown, MD”.
[8] Albert Barnes, Barnes’  Notes on the New Testament”, complete and unabridged in one volume (Grand Rapids, MI: Kregel Publications, 1982), 158.
[9] Josephus, Antiquities of the Jews, XVII. 6,5.
Tag : Artikel
0 Komentar untuk "Menyikapi Ajaran Kutuk Nenek Moyang"

Back To Top