Oleh: Pdt. Roby Setiawan,
Th.D.[1]
Ada kelompok
orang Kristen tertentu yang sangat menekankan pengajaran kesembuhan ilahi.
Beberapa pengkotbah dijuluki ‘spesialis kesembuhan ilahi’. Mereka mengadakan
kebaktian-kebaktian istimewa di gedung-gedung besar dan lapangan sepak bola
guna mengun-dang orang-orang sakit untuk didoakan dan mengalami kesembuhan
ilahi. Puji Tuhan kalau benar-benar ada yang disembuhkan dan dibawa kepada
Tuhan Yesus sebagai Juruselamat. Bagaimanakah sikap umat Tuhan terhadap
fenomena ini?
Di dalam keempat
Injil dan Kisah Para Rasul jelas dinyatakan bahwa kesembuhan ilahi memang ada.
Tuhan Yesus melakukan berbagai kesembuhan ilahi; demikian pula para rasul dan
murid-murid-Nya yang lain diberikan karunia yang sama.
Cukup menarik
untuk diperhatikan, bahwa Tuhan Yesus memakai cara-cara yang berlainan di dalam
menyembuhkan orang-orang sakit. Misalnya: Ia cukup mengatakan sesuatu dan 10
orang kusta menjadi tahir (Luk. 17:11-19). Pada waktu menyembuhkan ibu mertua
dari Petrus, Ia memegang tangannya (Mat. 8:15). Terhadap Lazarus yang telah 4
hari meninggal dunia, Ia berseru dengan suara keras di depan kuburannya, “Lazarus, marilah keluar!” (Yoh. 11:43).
Yesus mengaduk tanah dengan ludah-Nya, lalu memoleskannya pada mata orang yang
buta dan menyuruhnya untuk mencuci matanya itu di kolam Siloam (Yoh. 9:6-7).
Dalam kasus penyembuhan hamba perwira di Kapernaum, Yesus malah menyembuhkannya
dari jarak jauh (Mat. 8:5). Wanita yang sakit pendarahan menyentuh ujung jubah
Tuhan dan terjadilah kesembuhan (Mat. 9:21).
Mengapa Tuhan
memakai cara-cara yang berbeda? Mungkin, karena Ia tidak mengijinkan satu
carapun dibakukan dan ‘dikeramatkan’. Karena, bukanlah caranya yang penting
tetapi iman kepada Tuhan Yesus Kristus. Rasul Yakobus memberi pengarahan untuk
pela-yanan mendoakan orang sakit,
“Kalau
ada seorang di antara kamu yang sakit, baiklah ia memanggil para penatua
jemaat, supaya mereka mendoakan dia serta mengolesnya dengan minyak dalam nama
Tuhan. Dan doa yang lahir dari iman akan menyelamatkan orang sakit itu dan
Tuhan akan membangunkan dia; dan jika ia telah berbuat dosa, maka dosanya itu
akan diampuni” (Yak. 5:14-15).
Minyak, sebagai
simbol dari urapan Roh Kudus, sering digunakan di dalam Perjanjian Lama untuk
upacara pentahbisan atau pelantikan (bnd. 1 Sam. 10:1; 16:13). Gereja mula-mula
mewarisi tradisi Yahudi. Apa-bila seorang Yahudi sakit, maka orang pertama yang
dicari bukanlah dokter tetapi seorang Rabbi
(guru agama Yahudi). Kemudian, Rabbi itu akan mengoleskannya dengan minyak
dan mendoakan orang itu.[2] Irenaeus, seorang Bapa Gereja pada abad
kedua, menceritakan bagaimana orang-orang sakit disembuhkan melalui penumpangan
tangan.
Cuma perlu
diingat, bahwa bukan minyak dan penumpangan tangan yang dapat menyembuhkan
orang sakit. Kedua hal itu hanyalah metode dan simbol. Yang terpenting adalah
iman orang itu kepada Tuhan Yesus disertai dengan kehendak dan kuasa-Nya.
Penumpangan tangan dan pengurapan dengan minyak juga berdampak psikologis
terhadap orang yang sakit itu karena ada sentuhan pribadi, sehingga orang itu,
secara kejiwaan, merasa dikuatkan.
Karunia
kesembuhan dapat datang langsung dari Allah melalui cara-cara supra-natural.
Namun di lain pihak, Allah juga mengaruniakan kesembuhan itu mela-lui cara-cara
medis. Paulus sendiri, walaupun pernah beberapa kali dipakai Tuhan untuk
melakukan kesem-buhan Ilahi, menyarankan Timotius agar meminum sedikit anggur
untuk mengobati pencernaannya yang terganggu (1 Tim. 5:23). Perlu diingat pula,
bahwa Lukas adalah seorang dokter medis yang seringkali menemani Paulus di
dalam perjalanan misinya. Sudah tentu, Lukas memberikan pertolongan medis pada saat-saat
yang dibutuhkan oleh sang rasul yang juga mengalami kelemahan fisik, seperti
yang tertulis di dalam Kolose 4:14, “Salam
kepadamu dari tabib Lukas yang kekasih dan dari Demas.”
Allah adalah
maha bijaksana di dalam segala tindakan-Nya. Jikalau Ia selalu melakukan
kesembuhan Ilahi secara supra-natural, maka semua rumah sakit, klinik dokter,
pabrik dan toko obat akan sepi bahkan tutup. Maka dampaknya adalah akan banyak
orang yang kehilangan pekerjaan,
sehingga akan mendatang-kan masalah besar lainnya juga.
Namun, Tuhan
tidak selalu menyembuhkan penyakit jasmani seseorang. Manusia tidak bisa
memaksa-Nya. Ia tahu persis apa yang terbaik bagi umat-Nya. Hal yang terbaik
itu tidak identik dengan selalu terjadi kesem-buhan. Allah dapat melihat dari skope
yang jauh lebih luas dari kemampuan mata manusia memandang. Ia tahu persis
dampak apa (positip atau negatip) yang akan terjadi jikalau seseorang
disembuhkan atau diijinkan untuk sakit.
Kehidupan rasul
Paulus memberi contoh yang penting. Ia pernah dipakai Tuhan melakukan banyak
mujizat, bahkan ia pernah membangkitkan Eutichus
yang mati (Kis. 20:10). Namun, Tuhan mengijinkan Paulus untuk menderita ‘duri
dalam dagingnya’ (2 Kor. 12:1-10). Banyak penafsir Alkitab mengatakan, bahwa
‘duri’ itu merupakan penyakit yang diderita Paulus. Ada yang berkata, bahwa
Paulus mengalami sakit epilepsi. Pada jaman itu, epilepsi dianggap sebagai
penunggangan Iblis. Oleh karena itu, setiap kali orang-orang yang sehat bertemu
dengan penderita epilepsi, maka mereka akan membuang ludah dengan tujuan
menghalau roh-roh jahat itu agar tidak menyerang mereka. Paulus pernah berkata
demikian kepada jemaat Galatia,
“Sungguhpun
demikian keadaan tubuhku itu, yang merupakan pencobaan bagi kamu, namun kamu
tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang hina dan yang menjijikkan,
tetapi kamu telah menyambut aku, sama seperti menyambut seorang malaikat Allah,
malahan sama seperti menyambut Kristus Yesus sendiri” (Gal. 4:14).
Perkataan “kamu tidak
menganggapnya sebagai sesuatu yang hina dan yang menjijikkan” di dalam
terjemahan Inggrisnya adalah: “You did
not spit at me” (kamu tidak membuang ludah terhadapku). Mengapa bisa
terjadi demikian? Apakah Paulus juga
adalah penderita epilepsi? Mungkin saja demikian.
Lalu, di dalam
Galatia 6:11, Paulus menuliskan, “Lihatlah,
bagaimana besarnya huruf-huruf yang kutulis kepadamu dengan tanganku sendiri.”
Mengapa ukuran huruf-huruf yang ditulis oleh Paulus besar-besar? Mungkin ada
masalah pada matanya. Ini didukung oleh pengakuan Paulus sendiri tentang jemaat
Galatia, “Betapa bahagianya kamu pada
waktu itu. . . . Karena aku dapat bersaksi tentang kamu, bahwa jika mungkin,
kamu telah mencungkil matamu dan memberikannya kepadaku” (Gal. 4:15).
Sebagian
penafsir Alkitab mengatakan, bahwa setelah Paulus mengalami kebutaan selama 3
hari, dia didoakan oleh Ananias untuk dapat melihat kembali (Kis. 9:9). Namun,
mungkin saja atas ijin Tuhan, Paulus tidak dapat melihat secara sempurna lagi;
sehingga ia selalu membutuhkan seorang jurutulis untuk mencatat semua suratnya.
Apabila terpaksa menulis, ia harus menulis dengan huruf-huruf yang besar karena
kedua matanya kurang jelas untuk melihat.
Mengapa Tuhan
ijinkan Paulus mengalami ‘duri di dalam dagingnya’? Berdasarkan kasih
karuniaNya, Tuhan ingin mencegah Paulus agar tidak jatuh ke dalam dosa
kesombongan. Lucifer dihukum Tuhan karena kesombongan (Yes. 14). Jadi,
kesombongan adalah dosa yang sangat serius. Paulus pernah menerima penglihatan
yang luar biasa tentang hadirat Tuhan di Sorga. Sebagai manusia yang lemah, dia
bisa saja jatuh ke dalam dosa kesombongan karena penglihatan itu. ‘Duri dalam
daging’ itu menjadi alat Tuhan untuk mencegah hamba-Nya agar tidak sombong (2
Kor. 12:7-10).
Ada banyak hal
positip di balik penderitaan atau penyakit yang diijinkan Tuhan terjadi di
dalam kehidup-an umatNya. Ken Medema digemari di seluruh USA
karena lagu-lagunya yang merdu dengan sajak-sajaknya yang gembira. Ia adalah
seorang penyanyi dan penga-rang lagu yang buta. Namun, ia telah mengubah
rin-tangan itu menjadi puji-pujian akan kemurahan hati Allah.
Louis Pasteur, seorang ahli kimia berkebangsaan Perancis yang
menemukan cara memberantas kuman-kuman dan dikenal dengan istilah pasteurisasi menderita lumpuh separuh
tubuhnya juga terkena penyakit ayan. Namun, ia tidak pernah putus asa dalam
penyelidikan-nya untuk membasmi berbagai macam penyakit yang merajalela pada
masa hidupnya. Kemungkinan, apabila memiliki kesehatan tubuh yang sempurna, ia
tidak akan tekun melakukan penyelidikannya itu karena akan lebih mudah melakukan
pekerjaan lainnya yang menguntung-kan.[3] Jikalau
memang demikian maka sumbangsihnya tidak akan dikenang oleh begitu banyak orang
sampai dengan saat ini.
Kathryn Kuhlman, mantan tokoh kesembuhan ilahi yang
pernah terkenal waktu lalu, meninggal dunia pada tahun 1976 setelah menderita
penyakit jantung selama bertahun-tahun. Pada akhir tahun 1975, ia menjalani
pembedahan, dan sejak saat itu ia tidak pernah sembuh; walaupun banyak orang,
yang diberitakan, telah disem-buhkan melalui pelayanan doanya. Namun, ia tetap
setia mengiring dan melayani Tuhan sampai pada akhir hayatnya.[4]
Kesimpulannya:
sampai saat ini, kesembuhan Ilahi masih terjadi. Namun, tidak semua orang yang berdoa
meminta hal itu akan digenapi permohonan mereka. Tuhan yang maha tahu dan
bijaksana berhak untuk menentukannya. Dia pasti memberikan yang terbaik bagi
umat-Nya. Allah juga memakai ‘kesembuhan
Ilahi’ untuk mendukung penginjilan dan di ladang misiNya.
[1] Pdt. Roby Setiawan meraih gelar Doctor of Theology in Practical Theology di Asia Baptist
Graduate Theological Seminary, Baguio City-Philippines (1996). Gelar Doktor tsb disetarakan di DIKTI Senayan-Jakarta
November 2011. Ia sebagai Ketua Bidang Teologia & Pengajaran Sinode GKRI (anggota PGI & PGLII), Ketua
Umum PGKS (Persekutuan Gereja-Gereja Kristen di Semarang), dosen pasca sarjana di beberapa
seminary dan perintis serta gembala GKRI Roti Hidup, Semarang.
[3] Billy Graham, Hingga
Harmagedon: Pandangan Alkitab tentang Penderitaan (Bandung: Lembaga
Literatur Baptis, 1986), 184-85.
0 Komentar untuk "Adakah Kesembuhan Ilahi?"